Minggu, 16 Januari 2011

Terapi Plasmaferesis dalam Dermatologi Evita H.F. Effendi Bagian/UPF Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Plasmaferesis berasal dari kata plasma dan aphairesis, yang berarti memisahkan plasma. Beberapa penulis membedakan antara plasmaferesis dan plasma exchange. Plasma exchange dipakai untuk tindakan yang lebih ekstensif dengan jumlah yang besar. Plasmaferesis adalah istilah umum dan dapat dipakai untuk pemisahan plasma dalam jumlah kecil maupun besar(1). Plasmaferesis mula-mula diperkenalkan pada awal abad ini oleh Fleig dan Abel dkk. Pada saat itu hanya sedikit yang menaruh minat untuk pemakaian klinis, sebab pemisahan plasma secara manual adalah tidak praktis dan membuang waktu. Pada tahun 1960 Schwab dan Fahey melaporkan bahwa plasmaferesis berguna bagi penderita makroglobulinemia Waldenstrom dan penderita hiperviskositas. Sejak saat itu, plasmaferesis manual merupakan bagian dari pengobatan standard untuk kelainan tersebut(2). Namun demikian, hanya sedikit sekali penelitian tentang terapi plasmaferesis yang disertai dengan kelompok kelola. Hal ini disebabkan karena : a.insidens penyakit yang mungkin dapat diobati dengan plasmaferesis umumnya tidak tinggi. b.kesulitan untuk melaksanakan plasmaferesis palsu pada kelompok kelolao). Kern ungkinan mekanismekerjaplasmaferesis adalah menghilangkan autoantibodi, alloantibodi, komplcks imun, protein monoklonal, toksin atau menambah faktor yang spesifik dalam plasma(2,4). Jadi plasmaferesis hanya boleh dilakukan bila terdapat bukti bahwa penyakit tersebut adalah akibat faktor yang abnormal dalam plasma atau akibat kurangnya faktor yang normal terdapat dalam plasma(2). Dalam kesempatan ini akan dibicarakan secara singkat teknik pelaksanaan plasmaferesis, cairan pengganti yang umum-nya dipakai, penggunaan terapi plasmaferesis dalam dermato-logi dan efek samping plasmaferesis. TEKNIK PELAKSANAAN Plasmaferesis dapat dilakukan dengan beberapa cars : 1.Secara manual Plasmaferesis dalam jumlah yang sedikit (misalnya sampai kira-kira 500 ml) dapat dilakukan secara manual. Darah vena dikeluarkan ke dalam kantung yang berisi antikoagulan. Setelah kantung penuh atau sudah tercapai jumlah yang diinginkan, aliran darah diputuskan dan penderita diberi larutan NaCl 0,9% agar aliran pada vena tetap terbuka. Darah dalam kantung diputar dalam centrifuge, plasmanya dibuang dan komponen lain dikembalikan ke penderita(2,3). 2.Dengan menggunakan cell separator Prinsip kerja cell separator dapat berupa continuous flow centrifugation (CFC) atau intermittent flow centrifugation (IFC). Pada CFC proses pengambilan darah, pemisahan komponen dan pengembalian komponen berjalan secara kontinyu, sedang-kan pada IFC proses tersebut berjalan secara bergantian. Saat ini sedang dikembangkan cell separator yang menggunakan teknik membrane filtration. Dengan cara ini, plasma mengalir melalui membran yang akan menyaring komponen spesifik yang ada di dalam plasma(3). CAIRAN PENGGANTI Federal and American Association of Blood Bank memberi pedoman bahwa plasmaferesis sejumlah 1000 ml/minggu dapat dilakukan tanpa cairan pengganti yang mengandung protein pada donor dengan ukuran badan rata-rata, tetapi dengan tetap memantau kadar protein serum donor tersebut. Terapi plasma-feresis tentu berbeda dengan plasmaferesis pada donor, tetapi setidak-tidaknya pedoman ini dapat dipakai sebagai pegangan Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 34 pada penderita dengan keadaan gizi yang baik. Biasanya juga dianjurkan diit tinggi protein bila bukan merupakan kontra-indikasi(1). Fresh frozen plasma, albumin atau derivat plasma lain dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan koloid sebagai pengganti plasma penderita. Pemakaian plasma sebagai cairan pengganti, penting pada penyakit-penyakit akibat kekurangan suatu faktor dalam plasma misalnya thrombotic thrombocytopenic purpura(2). Pada penyakit-penyakit dengan komponen plasma yang patogen, penentuan jenis cairan pengganti juga penting; misal-nya clearance kompleks imun dapat ditingkatkan dengan memberikan cairan pengganti yang mengandung komplemen, meskipun ada penulis lain yang menganjurkan pemberian cairan yang tidak mengandung komplemen(2). Pada umumnya tidak diperlukan elektrolit pengganti baik pada plasmaferesis dengan jumlah kecil maupun dengan jumlah besar(1). Jadi dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini belum ditemukan cairan pengganti yang optimal dan mungkin tidak akan pernah ditemukan karena hal ini sangat individual(1). PENGGUNAAN TERAPI PLASMAFERESIS DALAM DERMATOLOGI 1.Pemfigus vulgaris Plasmaferesis pertama kali dilaporkan berhasil pada pen-derita pemfigus vulgaris pada tahun 1978. Sejak saat itu ter-dapat banyak laporan dan beberapa penelitian tentang kegunaan plasmaferesis pada pemfigus vulgaris(5). Ruocco click (1978) menemukan bahwa penurunan kadar antibodi interselular pada pemfigus sejajar dengan perbaikan klinis(6). Guillaume dkk (1988) melakukan suatu penyelidikan dengan kelompok kelola; beliau menemukan bahwa plasma-feresis dan pemberian kortikosteroid dosis rendah tidak efektif untuk pengobatan pemfigus vulgaris(7). Pada binatang percobaan dan manusia telah dibuktikan bahwa setelah plasmaferesis terjadi rebound increase dari anti-bodi. Peningkatan ini berlangsung dalam dua tahap. Yang per-tama timbul 24 ­ 48 jam setelah plasmaferesis dan merupakan akibat redistribusi dari imunoglobulin ekstravaskular. Hal ini tidak dapat dicegah karena merupakan fenomena fisik dan dapat diatasi dengan plasmaferesis ulangan. Oleh karena itu paling baik untuk memberi jarak-dua hari bagi plasmaferesis berikutny supaya dicapai keseimbangan dahulu. Peningkatan antibodi yang kedua terjadi 1 ­ 2 minggu setelah plasmaferesis dan merupakan akibat pembentukan antibodi baru. Yang kedua ini dapat sedemikian besarnya sehingga melebihi titer sebelum plasmaferesis. Pada binatang percobaan, hal ini dapat dicegah dengan pemberian siklofosfamid(8,9). Auerbach dan Bystrin (1979) memakai siklofosfamid 100 mg secarapulse therapy dan prednison 60 mg/hari untuk mengatasi rebound increase ini(8). Euler dkk (1987) juga memakai siklofosfamid secara pulse therapy dengan dosis 36 mg/kg BB/hari serta prednisolon 2 mg/kg BB/ hari(10). Plasmaferesis bukan merupakan terapi primer pemfigu: vulgaris, tetapi hanya dipakai bila terapi standard mengalami kegagalan. Pelaksanaan plasmaferesis harus diikuti dengar pemberian kortikosteroid yang adekuat ditambah dengan obat sitotoksik(9,11,12). Plasmaferesis dapat mengurangi dosis total kortikosteroid dan dapat memperpendek masa perawatan(13). 2.Pemfigoid bulosa Walaupun pemfigoid bulosa biasanya merupakan penyakil yang jinak, swasirna dan mudah dikendalikan dengan dosis menengah kortikosteroid dikombinasi dengan sulfon atau obat imunosupresif, ada beberapa penderita yang penyakitnya berat atau tidak dapat diobati dengan terapi standard. Pada penderita-penderita ini, bila dilajukan plasmaferesis, tampak perbaikan klinis. Walaupun titer antibodi meningkat setelah plasmaferesis, tetapi tidak pernah mencapai titer sebelum plasmaferesis(14). Roujeau dkk (1984) memperlihatkan kegunaan plasma-feresis pada pemfigoid bulosa dan efek steroid sparingnya. Kor-tikosteroid yang diberikan adalah prednisolon 0,3 mg/kg BB/ hari. Pengendalian penyakit terlihat pada 13 dari 22 orang pada kelompok yang mendapat plasmaferesis dan kortikosteroid. Kelompok yang diobati dengan prednisolon saja dengan dosis yang sama tidak menunjukkan perbaikan(15). 3.Dermatitis Herpetiformis Dermatitis herpetifonnis adalah suatu penyakit yang memiliki kompleks imun pada serum penderitanya. Wexler dan Clark (1982) telah mencoba plasmaferesis pada penderita dermatitis herpetiformis yang resisten terhadap sulfapiridin dan tidak dapat mentolerir efek samping dapson dengan dosis 100 mg/hari. Setelah dilakukan plasmaferesis setiap 4 minggu, penderita dapat mentolerir dapson dengan dosis yang sama. Lesi kulit dapat dikendalikan dan tidak ditemukan efek samping. Beliau menganjurkan agar plasmaferesis dapat merupakan cara alternatif atau cara tambahan dalam pengobatan dermatitis herpetiformis untuk penderita yang tidak dapat mentolerir dosis dapson atau sulfapiridin(16). 4.Herpes gestasionis 1Penyakit ini merupakan erupsi bulosa sangat gatal yang timbul dalam kehamilan atau berhubungan dengan tumor tro-foblastik. Peranan faktor HG dalam patogenesis penyaldt ini masih dalam perdebatan. Umumnya penyakit ini dapat diobati dengan prednisolon 40 mg/hari yang kemudian diturunkan dengan cepat sehingga mencapai dosis pemeliharaan sebesar 10 mg/hari. Bila penyakit ini tidak responsif terhadap kortikosteroid atau bila terdapat kontraindikasi pemberian kortikosteroid, plasmaferesis dapat dipertimbangkan. Cara pengobatan ini telah berhasil dilaksanakan pada penderita dengan kehamilan maupun pada penderita dengan herpes gestasionis yang menetap setelah melahirkan. Tidak ditemukan kesulitan teknis yang berarti dalam melaksanakan plasmaferesis pada kehamilan(17). 5.Nekrolisis epidermal toksik Patogenesis NET belum diketahui dan bermacam-macam Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 35 patomekanisme dapat terlibat. Kompleks antigen-antibodi yang beredar tidak ditemukan, walaupun terlihat adanya endapan imunoglobulin dan komplemen pada sel basal. Plasmaferesis dapat menghilangkan obat penyebabnya, metabolitnya, antibodi sitotoksik atau mediator sitotoksik. Yang lebih dapat diterima adalah bahwa plasmaferesis menghilangkan suatu toksin dan bukan antibodi, karena plasmaferesis pada penyakit dengan antibodi yang patologis sepertipetnfigus vulgaris, diikuti dengan rebound production antibodi tersebut. Kamanabroo dkk (1985) melakukan plasmaferesis pada 5 penderita NET berat dengan hasil yang baik setelah 1­ 2 plasmaferesis(18). 6.Penyakit Refsum Penyakit Refsum ditandai dengan polineuropati kronis,retini-tis pigmentosa dan iktiosis. Pada penyakit ini kadar asam fitanat dalam darah meningkat karena kegagalan oksidasi asam lemak ini. Keadaan klinis berhubungan erat dengan kadar asam fitanat dalam plasma. Pengobatan utama adalah diit. Diit yang mengandung asam fitanat < 0,1 mg/hari hanya dapat ditolerir untuk beberapa hari. Dengan melakukan plasmaferesis,diit asam fitanat 8mg/hari dan tinggi kalori hasilnya memuaskan. Plasmaferesis cukup dilaku-kan 2 kali setahun. Karena retinitis pigmentosa tidak membaik dengan pengobatan, maka yang penting adalah diagnosis dini dan pengobatan dini sebelum penglihatan rusak(19). 7.Hiperkolesterolemia familial Penyakit ini ditandai dengan peningkatan kolesterol dan low density lipoprotein dalam plasma, pembentukan xantoma dan aterosklerosis dini. Penyakit ini diturunkan secara autosom dominan. Pengobatan dengan diit, medikamentosa dan secara bedah tidak memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa penyelidik telah mencoba melakukan plasma-feresis, dan hasilnya cukup baik. Pada plasmaferesis. yang di-lakukan setiap 2 ­ 3 minggu tampak jelas penurunan kadar LDL dan kolesterol total. Juga terjadi resolusi xantoma(20). Namun,belum dapat dibuktikan plasmaferesis dapat mengobati atau mencegah aterosklerosis yang biasanya merupakan problem utama pada penderita-penderita ini(2). 8.Lupus eritematosus sistemik Telah lama diketahui, sebagian besar manifestasi iklinis lupus eritematosus sistemik disebabkan oleh kompleks imun yang terdapat dalam sirkulasi dan ditimbun di ginjal, pembuluh darah dan kulit. Jones dick (1976) melaksanakan plasmaferesis pada 8 pen-derita lupus eritematosus sistemik. Pada 4 penderita yang mem-punyai kadar kompleks imun tinggi dalam sirkulasi, plasma-feresis yang dlakukan setiap minggu memberikan hasil baik secara klinis maupun laboratoris. Empat penderita lainnya mempunyai kelainan kadar komplemen yang ringan dan tidak ditemukan kompleks imun dalam sirkulasi; pada keempat pen-derita ini, tidak terlihat hasil yang memuaskan pada terapi plasmaferesis(21). EFEK SAMPING PLASMAFERESIS Setiap plasmaferesis menimbulkan kerusakan vena yangdapat bersifat ringan maupun berat(1). Setiap penderita dapat mengalami serangan vasovagal yang disebabkan oleh hipovo-lemia dan diperberat oleh stres psikis(1,2). Keseimbangan cairan harus diperhatikan untuk menghindari hipo atau hipervolemia(1). Penderita-penderita yang memiliki gangguan fungsi hepar cenderung untuk mengalami keracunan sitrat(1,2).Hal ini ter-utama terjadi bila menggunakan cairan pengganti yang mengandung sitrat misalnya plasma(1). Telah dilaporkan juga penurunan jumlah trombosit dan faktor-faktor pembekuan(4,8,9). Penurunan jumlah trombosit se-lain akibat plasmaferesis,juga diakibatkan oleh pemakaian obat-obat sitostatika yang diberikan bersamaan dengan plasmaferesis untuk mencegah rebound phenomena(8). Penderita yang memiliki kelainan kadar elektrolit mem-punyai risiko untuk mengalami aritmia jantung(1,2). Beberapa penulis melaporkan tidak ada perubahan kadar elektrolit akibat plasmaferesis(8), tetapi penulis lain menyatakan bahwa terjadi ketidak seimbangan elektrolit(9). Reaksi urtikaria atau kadang-kadang anafilaksis dapat timbul pada penderita yang memakai plasma sebagai cairan pengganti(2,22). Risiko timbulnya hepatitis juga meningkat bila dipakai plasma(2,4,22).Suatu kendala lain yang membatasi penggunaan plasma-feresis adalah tingginya biaya(20). KESIMPULAN Terapi plasmaferesis bekerja menghilangkan faktor yang abnormal atau menambah kekurangan faktor yang normal ter-dapat di dalam plasma. Pada saat ini terapi plasmaferesis umumnya dilakukan setelah cara pengobatan standard tidak memberi hasil yang diinginkan. Ciran pengganti yang dipakai sangat bervariasi dan tergantung dari kebutuhan masing-masing penderita. Efck samping yang timbul, biasanya tidak terlalu berat dan beberapa efek samping berhubungan dengan jenis cairan pengganti yang dipakai. Telah dilaporkan kegunaan terapi plasmaferesis pada pe-nyakit pemfigus vulgaris, pemfigoid bulosa, dermatitis herpeti-formis, herpes gestasionis, nekrolisis epidermal toksik, penyakit Refsum, hiperkolesterolemia familial dan lupus eritematosus sistemik. KEPUSTAKAAN 1.Huestis DW, Thomas SF. Presently available plasmapheresis technics. In: Berkman EM, Umlas J. Therapeutic Hemapheresis. A technical workshop. Washington DC: American Association of Blood Banks. 1980; pp 1-12. 2.Shumak KH, Rock GA. Therapeutic plasma exchange. N Eng J Med 1984; 310: 762­71. 3.McCullough J, Chopek M. Therapeutic plasma exchange. Lab Med 1981; 12: 634­42. 4.Moschella SL. Topic of Current Interest in Dermatology. In: Moschella SL, Hurley HJ. Dermatology. 2nd ed, Philadelphia: WB Saunders Co. 1985. pp 2107­8: 5.Korman N. Pemphigus. J Am Acad Dermatol 1988; 18: 1219­38. 6.Ruocco Vet al. Pathogenicity of the intercellular antibodies of pemphigus and their periodic removal from the circulation by plasmapheresis. Br J Dermatol 1978; 98: 237­41 Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 36 7.Guillaume JC et al. Controlled study of plasma exchange in pemphigus. Arch Dermatol 1988; 124: 1659-63 8.Auerbach R, Bystryn JC. Plasmapheresis and immunosuppressive therapy. Effect on levels of intercellular antibodies in pemphigus vulgaris. Arch Dermatol 1979; 115: 728-30. 9.Bysuyn JC. Plasmapheresis therapy of pemphigus. Arch Dermatol 1988; 124: 1702-4. 10.Euler HH, Loffler H, Christophers E. Synchronization of plasmapheresis and pulse cyclophosphamide therapy in pemphigus vulgaris.Arch Derma-tol 1987; 123: 1205-10. 11.Blaszczyk M, Chorzelski TP, Jablonska S, Daszynski J, Beutner EH. Indications for future studies on the treatment of pemphigus with plasma-pheresis. Arch Dermatol 1989; 125: 843-4. 12.Fine JD, Appell ML, Green LK, Sams WM. Pemphigus vulgaris. Com-bined treatment with intravenous corticosteroid pulse therapy, plasma-pheresis and azathioprine. Arch Dermatol 1988; 124: 236-9. 13.Meurer M, Falco OB. Plasma exchange in the treatment of pemphigus vulgaris. Br J Dermatol 1979; 100: 231-2. 14.Goldberg NS, Robinson JK, Roenigk HH, Marder R, Rothe M. Plasmapheresis therapy in bullous pemphigoid. Arch Dermatol 1985;121:1484-5 15.Roujeau JC, Guillaume JC, Morel P. Plasma exchange in bullous pem- phigoid. Lancet 1984; 2: 486-9. 16.Wexler D, Clark W. Plasma exchange and dermatitis herpetiformis. Arch Dermatol 1982; 118: 141-2. 17.Holmes RC, Black MM. Herpes Gestationis. Dennatologic Clinics 1983; 1: 195-203. 18.Kamanabroo D, Landgraf WS, Czametzki BM. Plasmapheresis in severe drug-induced toxic epidermal necrolysis. Arch Dermatol 1985; 121; 1548-9. 19.Gibberd FB, Page NGR, Billimoria JD, Retsas S. Heredopathia atactic: polyneuritiformis (Refsum's disease) treated by diet and plasma-exchange Lancet 1979; 575-8. 20.King MEE, Breslow JL, Lees RS. Plasma-exchange therapy of homo- zygous familial hyperchelesterolemia. N Engl J Med 1980; 302: 1457-9 21.Jones JV et al. Plasmapheresis in the management of acute systemic lupus eruthemetosus. Lancet 1976: 708-11. 22.Roujeau JC et al. Plasma exchange in pemphigus. Arch Dermatol 1983; 119: 215-21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar